Tampilan terbaik:
 

Info Kegiatan 2000 

       

Selamatkan Pelajar Aceh dari Kehancuran !! 

 

 

 

Generasi muda adalah sebuah generasi yang memegang pengaruh  besar terhadap sebuah kinerja sistem kehidupan. Pemuda sangat diperhitungkan bagi sebuah perjalanan hidup. Pemuda adalah harapan masa depan, sosok yang didambakan kehadirannya, karena ditangan pemudalah letak sebuah kejayaan dan kemajuan suatu negeri.

 

Pada diri seorang pemuda berhimpun semua potensi yang memungkinkan pemuda untuk mewujudkan sebuah kejayaan. Pemuda merupakan generasi yang ideal bagi sebuah kemajuan. Karena itu pemanfaatan dan pemberdayaan generasi muda harus mendapatkan porsi yang besar dan prioritas yang utama. Usia muda merupakan usia yang dinamis, penuh gejolak, dan labil. Manusia yang berusia seperti ini akan dengan mudah mengikuti arus yang kuat menerpanya, apakah itu kebaikan maupun keburukan. Karena itulah mereka butuh bimbingan dan binaan yang dapat mengarahkan mereka pada kebaikan dan keidealisan. Dimana hanya pemuda yang kenal jati diri dan mampu mengembangkan ke-idealisan-nya lah yang akan mampu memanfaatkan potensi yang ada pada dirinya. Pemuda seperti itulah yang akan mampu mewujudkan sebuah negeri yang maju dan jaya serta menghasilkan peradaban yang tangguh.

 

Begitu juga halnya dengan pelajar, sebagai bagian dari generasi muda membuat pelajar harus dibina, dijaga, ditempa, diarahkan pada pemanfaatan semua potensi yang ada pada dirinya. Tentunya itu harus melalui sebuah sistem dan metoda yang relevan untuk itu. Pelajar harus diposisikan sebagai sosok yang penting dan berpengaruh sehingga keberadaannya akan membuat semua pihak peduli dengan pelajar. Ketika pelajar tidak mendapatkan itu semua, maka pelajar akan menjadi generasi yang labil, lemah dan bisa menjadi rusak. Mengapa ? karena pelajar adalah generasi yang rawan terhadap sebuah penanaman nilai/pemikiran, jika nilai/pemikiran yang masuk itu adalah nilai/pemikiran yang rusak dan tidak sesuai dengan nurani/fitrah manusia, maka akan membuat pelajar menjadi lemah dan rusak. Tapi sebaliknya jika pelajar mendapatkan nilai/pemikiran yang sesuai dengan nurani maka akan lahir pelajar yang berkualitas, maju dan tangguh.

 

Pelajar Aceh sebenarnya punya peluang besar untuk menjadi sosok pelajar yang ideal. Keistimnewaan Aceh semestinya bisa menciptakan penghuninya sebagai penghuni yang tangguh. Tetapi realitanya, yang tampak justru sangat bertolak belakang dengan harapan, penduduk Aceh tak jauh beda dengan penduduk diluar Aceh. Kata-kata istimewa tidak cukup untuk membuat penduduk Aceh mengungguli penduduk di luar Aceh.  Bahkan ada kecenderungan penduduk Aceh punya kualitas dibawah kualitas penduduk di luar Aceh. Hal ini juga menimpa pelajar Aceh, kelompok ini tidak menjadi generasi yang sesuai dengan harapan dan tuntutan. Pelajar Aceh telah kehilangan jati diri dan eksistensinya sebagai penghuni sebuah daerah yang istimewa. Hal ini tak lain dikarenakan pelajar Aceh tidak mendapat pembinaan dan penempaan dengan nilai/pemikiran yang baik.  Pelajar Aceh tidak mendapat perhatian dan penempatan sebagai sosok yang penting dan berpengaruh. Mereka diabaikan, mereka hanya disuguhkan sebuah pola penempaan yang tidak menyentuh esensi moral, yang disentuh hanya bagian yang tidak esensi pada pembinaan moral.

 

Itulah realita yang harus kita terima. Sebuah realita yang menggambarkan buruknya sebuah sistem/metode pembinaan. Sebuah sistem yang hanya mampu menghasilkan produk yang tidak sempurna bahkan cenderung setengah/tidak jadi. Produk yang hanya mampu mempertontonkan berbagai kerusakan moral, mulai dari pergaulan bebas, pelacuran, tawuran, VCD porno, bolos hingga penggunaan Narkoba. Pelajar Aceh telah menjadi sebuah produk yang hanya bisa menampilkan suatu pertunjukan drama tanpa skenario, walaupun tidak semua pelajar Aceh seperti itu, namun kenyataannya bisa dikatakan tidak ada sekolah di Aceh yang terkenal bersih dari bentuk kemaksiatan, mulai dari sekolah umum hingga sekolah agama, mulai dari SLTP hingga SLTA. Semua ini membuktikan bahwa kondisi moral pelajar Aceh memang sangat memprihatinkan.

 

Bagaimana tidak, hasil penelitian dibidang Narkoba menunjukkan bahwa 1 dari 4 pelajar Aceh terlibat Narkoba. Angka yang sangat besar untuk sebuah daerah yang dikenal sebagai Serambi Mekkah. Dan itu pada umumnya hanya terjadi dalam kurun waktu 3 tahun kurang. Bayangkan apa jadinya kondisi Aceh 3 atau 6 tahun kedepan, bila kondisi kehidupan di Aceh masih seperti ini. Akankah Aceh akan kehilangan sebuah generasi (Lost Generation) guna membangun Aceh masa depan. Bagaimana mereka bisa membangun Aceh jika kondisi moral mereka sudah separah ini.

 

Siapa yang Salah...?!

 

Semua pihak salah, semua generasi, semua komponen, semuanya punya tanggung jawab terhadap kondisi ini. Tidak ada yang bisa melepaskan beban moral dari permasalahan ini. Tapi sayangnya, kesalahan ini tidak mau diakui dan cenderung saling melimpahkannya kepada pihak lain. Sehingga tidak menghasilkan sebuah upaya penanggulangan untuk mengatasi hal ini. 

 

Pemerintah (Gubernur, DPRD, Kanwil Diknas, Kanwil Depag, Kepolisian, dll) selama ini hanya sibuk mengurusi permasalahan politik dan keamanan yang kadang-kadang menyentuh urusan pribadi atau kelompok, urusan yang katanya sebagai wujud perhatiannya pada rakyat, tapi justru permasalahan moral pelajar yang merrupakan salah satu komponen dari rakyat tidak pernah mereka gubris. Ulama, juga hanya sibuk sendiri, mereka sibuk dengan memperdebatkan masalah khilafiah, mereka sibuk berceramah dari mimbar ke mimbar yang padahal diketahui tidak akan pernah efektif jika tidak ditampilkan dalam wujud yang nyata. Masyarakat sebagai pihak yang telah membuka lebar-lebar celah masuknya budaya kotor juga bertanggung jawab pada kerusakan moral pelajar Aceh, masyarakat dengan budaya hidup konsumtif dan ekslusif / individualis membuat mereka tak pernah peduli dengan yang namanya orang lain.

 

Sekolah juga punya tanggung jawab terhadap kondisi riil pelajar Aceh sekarang ini, sekolah yang sebenarnya diposisikan sebagai wadah pembentukan generasi muda idaman, yang ideal dan berkualitas telah berubah menjadi wadah untuk adu gengsi. Sekolah-sekolah bersaing untuk menjadi sekolah terbaik dalam hal akademis, jumlah siswa dan kualitas gedung. Tidak ada sekolah yang menjadikan moral siswa yang baik sebagai barometer keberhasilan dan kemajuan. Pembinaan moral cenderung diabaikan oleh pihak sekolah, pelajaran Aqidah/akhlak dikurangi jamnya, tapi pelajaran yang tidak punya peran besar terhadap perkembangan mentalitas dan akademik siswa justru mendapat porsi yang besar dalam kurikulum sekolah. Kondisi ini diperparah lagi dengan tidak adanya upaya untuk mengcaunter kurangnya jam pelajaran akhlak/moral pada kegiatan intrakurikuler dengan cara memberlakukan kegiatan ekstrakurikuler yang bernuansa agamis, religius dan mengarah pada kebaikan moral. Kelemahan ini ternyata tidak diperhatikan oleh pihak sekolah, kalaupun ada yang punya perhatian, tapi tidak mengarah pada aplikasi di lapangan.

 

Kondisi pelajar Aceh seperti sekarang ini juga tidak lepas dari tanggung jawab keluarga. Keluarga yang merupakan pihak paling bertanggung jawab terhadap pembinaan moral generasi muda kebanyakan mengabaikan masalah ini, keluarga pada umumnya tidak pernah membudayakan budaya check and recheck terhadap perkembangan mental spiritual anggotanya sehingga membuat keluarga tersebut hancur dan tidak terarah.  Justru yang menjadi perhatian dari sebuah keluarga adalah dalam hal fisik dan materi, sebuah keluarga akan merasa cukup bila anggota-anggotanya punya fasilitas yang memadai. Hampir tidak ada keluarga yang menempatkan moral sebagai syarat keberhasilan, keluarga yang merasa cukup atau berhasil bila anggotanya punya kualitas moral yang bagus sangat sedikit.

 

Dan Pihak terakhir yang tentunya sebagai pihak yang bersalah dan menanggung sendiri resiko dari kesalahan itu adalah pelajar. Pelajar sebagai sosok yang sedang menjadi topik kali ini merupakan pihak terakhir yang paling bertanggung jawab terhadap moral mereka. Mereka yang seharusnya menjadi tumpuan dan harapan dari masyarakat untuk menciptakan suasana masyarakat yang damai, aman dan sejahtera justru tidak mendapatkan pembinaan yang seimbang. Sehingga terlalu sulit bagi pelajar untuk mewujudkan harapan dan beban yang dipikulkan di pundak mereka. Kesalahan pelajar dalam memilih pola pembinaan dan lingkuangan pergaulan yang baik membuat kekurangan dari pihak masyarakat tidak bisa tertutupi. Sehingga lahirlah generasi pelajar yang tidak mampu melahirkan sebuah kemajuan dan peradaban yang tangguh, pelajar yang hanya mampu menikmati atau malah memporakporandakan sebuah hidangan yang sudah dihidangkan, tanpa mampu membuat sendiri hidangan tersebut.

 

Itulah sebuah kondisi yang memprihatinkan yang diakibatkan dari tidak bertanggung jawabnya pihak-pihak yang berkepentingan dengan pelajar selama ini. Tidak semuanya seperti itu, namun orang-orang yang punya kepeduliaan hanya segelintir. Itupun mereka tidak punya wewenang yang signifikan untuk mengadakan suatiu perubahan pada tubuh pelajar. Dan pihak-pihak yang peduli ini tidak mendapat dukungan baik moril apalagi materiil guna mewujudkan kepeduliaan mereka dengan aksi nyata.

 

Untuk itu yang harus dipikirkan sekarang adalah bagaimana agar Aceh tidak akan mengalami Lost Generation yang bisa membuat Aceh kehilangan jati diri dan titel “Serambi Mekkah”-nya. Jangan ada lagi pihak yag saling menuding dan saling melemparkan tanggung jawab, jangan ada lagi pihak “yang cuek” pada pelajar. Pemerintah harus segera mengupayakan penerapan aturan legal formal yang memungkinkan pelajar Aceh menjadi bagus. Pemberlakukan Syariat Islam secara menyeluruh harus dimulai dalam kehidupan pelajar, menciptakan kurikulum pendidikan yang menitikberatkan pada perbaikan akhlak, membuat aturan yang akan membabat habis peredaran narkoba dikalangan pelajar dan masyarakat Aceh, dan aturan-aturan lainnya yang bisa menjadi indikator keberhasilan pelajar Aceh mendatang. Pihak kepolisisan harus lebih gencar dalam memberantas ladang ganja dan peredaran narkoba serta VCD porno di Aceh. Kalau perlu ada sanksi yang tegas bagi mereka yang masih gentanyangan dengan kemaksiatannya mulai dari pengedar, pelaku hingga pemberi izin.  

 

Ulama harus lebih giat mencegah kerusakan moral dikalangan pelajar, jangan lagi hanya melalui mimbar, tapi harus mengarah pada wujud nyata dilapangan. Masyarakat harus mencegah budaya-budaya merusak yang masuk ke Aceh, masyarakat harus menerapkan Islam sebagai satu-satunya budaya yang mampu melahirkan generasi idaman yang akan membangkitkan Aceh dari kuburnya. Sekolah harus lebih memperhatikan kualitas moral pelajar, jangan lagi bersaing dalam hal akademik dan jumlah siswa tanpa memperhatikan kondisi moral pelajar. Sekolah harus mampu menjadi wadah bagi pembentukan pelajar yang bagus moralnya, baik prestasi akademiknya dan aktif membangun masyarakat.

 

Pembinaan ekstra juga harus digerakkan oleh keluarga, harus diciptakan suasana saling perhatian antar anggota, sehingga tidak ada anggota keluarga yang merasa kurang perhatian sehingga akan mengalihkan perhatian pada bentuk penggunaan narkoba. Keluarga harus memperhatikan nilai-nilai religi dalam pembinaan anggotanya. Kehidupan Islam harus dimulai dalam keluarga masyarakat Aceh, karena kehidupan seperti itulah yang mampu menjamin tidak akan terjadi ketimpangan pada kondisi moral anggota-anggotanya. Dan terakhir, pelajar Aceh harus mulai meninggalkan lingkungan pergaulan yang merusak. Pelajar Aceh harus menciptakan suasana pergaulan yang menunjang pada peningkatan kualitas moral, perbaikan prestasi akademik dan peningkatan peran aktif pelajar dalam masyarakat.

 

Jika itu semua sudah dilakukan dan dikemas dalam bentuk kerjasama yang simultan dan sinergi. Mulai pemerintah hingga pelajar harus terjalin komunikasi yang lancar, harus diupayakan adanya sikap saling dukung mendukung serta take and give dalam upaya pembinaan yang berkesinambungan antar semua komponen. InsyaAllah semua itu akan teratasi atau minimal akan terminiminalisir oleh wujud kerjasama yang rapi ini. Sehingga generasi yang dikhawatirkan akan menjadi penonton atau perusak dari sebuah peradaban akan menjadi generasi yang penuh idealisme dan mampu menghasilkan sebuah peradaban tangguh dimasa mendatang.

 

 

webmaster

 Update terakhir tanggal : 20 Februari 2001

 (C) Copyright KAPMI 2001, by Sona Sagita