Selamatkan
Pelajar Aceh dari Kehancuran !!
Generasi
muda adalah sebuah generasi yang memegang pengaruh
besar terhadap sebuah kinerja sistem kehidupan. Pemuda sangat
diperhitungkan bagi sebuah perjalanan hidup. Pemuda adalah harapan masa
depan, sosok yang didambakan kehadirannya, karena ditangan pemudalah
letak sebuah kejayaan dan kemajuan suatu negeri.
Pada
diri seorang pemuda berhimpun semua potensi yang memungkinkan pemuda
untuk mewujudkan sebuah kejayaan. Pemuda merupakan generasi yang ideal
bagi sebuah kemajuan. Karena itu pemanfaatan dan pemberdayaan generasi
muda harus mendapatkan porsi yang besar dan prioritas yang utama. Usia
muda merupakan usia yang dinamis, penuh gejolak, dan labil. Manusia yang
berusia seperti ini akan dengan mudah mengikuti arus yang kuat
menerpanya, apakah itu kebaikan maupun keburukan. Karena itulah mereka
butuh bimbingan dan binaan yang dapat mengarahkan mereka pada kebaikan
dan keidealisan. Dimana hanya pemuda yang kenal jati diri dan mampu
mengembangkan ke-idealisan-nya lah yang akan mampu memanfaatkan potensi
yang ada pada dirinya. Pemuda seperti itulah yang akan mampu mewujudkan
sebuah negeri yang maju dan jaya serta menghasilkan peradaban yang
tangguh.
Begitu
juga halnya dengan pelajar, sebagai bagian dari generasi muda membuat
pelajar harus dibina, dijaga, ditempa, diarahkan pada pemanfaatan semua
potensi yang ada pada dirinya. Tentunya itu harus melalui sebuah sistem
dan metoda yang relevan untuk itu. Pelajar harus diposisikan sebagai
sosok yang penting dan berpengaruh sehingga keberadaannya akan membuat
semua pihak peduli dengan pelajar. Ketika pelajar tidak mendapatkan itu
semua, maka pelajar akan menjadi generasi yang labil, lemah dan bisa
menjadi rusak. Mengapa ? karena pelajar adalah generasi yang rawan
terhadap sebuah penanaman nilai/pemikiran, jika nilai/pemikiran yang
masuk itu adalah nilai/pemikiran yang rusak dan tidak sesuai dengan
nurani/fitrah manusia, maka akan membuat pelajar menjadi lemah dan
rusak. Tapi sebaliknya jika pelajar mendapatkan nilai/pemikiran yang
sesuai dengan nurani maka akan lahir pelajar yang berkualitas, maju dan
tangguh.
Pelajar
Aceh sebenarnya punya peluang besar untuk menjadi sosok pelajar yang
ideal. Keistimnewaan Aceh semestinya bisa menciptakan penghuninya
sebagai penghuni yang tangguh. Tetapi realitanya, yang tampak justru
sangat bertolak belakang dengan harapan, penduduk Aceh tak jauh beda
dengan penduduk diluar Aceh. Kata-kata istimewa tidak cukup untuk
membuat penduduk Aceh mengungguli penduduk di luar Aceh.
Bahkan ada kecenderungan penduduk Aceh punya kualitas dibawah
kualitas penduduk di luar Aceh. Hal ini juga menimpa pelajar Aceh,
kelompok ini tidak menjadi generasi yang sesuai dengan harapan dan
tuntutan. Pelajar Aceh telah kehilangan jati diri dan eksistensinya
sebagai penghuni sebuah daerah yang istimewa. Hal ini tak lain
dikarenakan pelajar Aceh tidak mendapat pembinaan dan penempaan dengan
nilai/pemikiran yang baik. Pelajar
Aceh tidak mendapat perhatian dan penempatan sebagai sosok yang penting
dan berpengaruh. Mereka diabaikan, mereka hanya disuguhkan sebuah pola
penempaan yang tidak menyentuh esensi moral, yang disentuh hanya bagian
yang tidak esensi pada pembinaan moral.
Itulah
realita yang harus kita terima. Sebuah realita yang menggambarkan
buruknya sebuah sistem/metode pembinaan. Sebuah sistem yang hanya mampu
menghasilkan produk yang tidak sempurna bahkan cenderung setengah/tidak
jadi. Produk yang hanya mampu mempertontonkan berbagai kerusakan moral,
mulai dari pergaulan bebas, pelacuran, tawuran, VCD porno, bolos hingga
penggunaan Narkoba. Pelajar Aceh telah menjadi sebuah produk yang hanya
bisa menampilkan suatu pertunjukan drama tanpa skenario, walaupun tidak
semua pelajar Aceh seperti itu, namun kenyataannya bisa dikatakan tidak
ada sekolah di Aceh yang terkenal bersih dari bentuk kemaksiatan, mulai
dari sekolah umum hingga sekolah agama, mulai dari SLTP hingga SLTA.
Semua ini membuktikan bahwa kondisi moral pelajar Aceh memang sangat
memprihatinkan.
Bagaimana
tidak, hasil penelitian dibidang Narkoba menunjukkan bahwa 1 dari 4
pelajar Aceh terlibat Narkoba. Angka yang sangat besar untuk sebuah
daerah yang dikenal sebagai Serambi Mekkah. Dan itu pada umumnya hanya
terjadi dalam kurun waktu 3 tahun kurang. Bayangkan apa jadinya kondisi
Aceh 3 atau 6 tahun kedepan, bila kondisi kehidupan di Aceh masih
seperti ini. Akankah Aceh akan kehilangan sebuah generasi (Lost
Generation) guna membangun Aceh masa depan. Bagaimana mereka bisa
membangun Aceh jika kondisi moral mereka sudah separah ini.
Siapa
yang Salah...?!
Semua
pihak salah, semua generasi, semua komponen, semuanya punya tanggung
jawab terhadap kondisi ini. Tidak ada yang bisa melepaskan beban moral
dari permasalahan ini. Tapi sayangnya, kesalahan ini tidak mau diakui
dan cenderung saling melimpahkannya kepada pihak lain. Sehingga tidak
menghasilkan sebuah upaya penanggulangan untuk mengatasi hal ini.
Pemerintah
(Gubernur, DPRD, Kanwil Diknas, Kanwil Depag, Kepolisian, dll) selama
ini hanya sibuk mengurusi permasalahan politik dan keamanan yang
kadang-kadang menyentuh urusan pribadi atau kelompok, urusan yang
katanya sebagai wujud perhatiannya pada rakyat, tapi justru permasalahan
moral pelajar yang merrupakan salah satu komponen dari rakyat tidak
pernah mereka gubris. Ulama, juga hanya sibuk sendiri, mereka sibuk
dengan memperdebatkan masalah khilafiah, mereka sibuk berceramah dari
mimbar ke mimbar yang padahal diketahui tidak akan pernah efektif jika
tidak ditampilkan dalam wujud yang nyata. Masyarakat sebagai pihak yang
telah membuka lebar-lebar celah masuknya budaya kotor juga bertanggung
jawab pada kerusakan moral pelajar Aceh, masyarakat dengan budaya hidup
konsumtif dan ekslusif / individualis membuat mereka tak pernah peduli
dengan yang namanya orang lain.
Sekolah
juga punya tanggung jawab terhadap kondisi riil pelajar Aceh sekarang
ini, sekolah yang sebenarnya diposisikan sebagai wadah pembentukan
generasi muda idaman, yang ideal dan berkualitas telah berubah menjadi
wadah untuk adu gengsi. Sekolah-sekolah bersaing untuk menjadi sekolah
terbaik dalam hal akademis, jumlah siswa dan kualitas gedung. Tidak ada
sekolah yang menjadikan moral siswa yang baik sebagai barometer
keberhasilan dan kemajuan. Pembinaan moral cenderung diabaikan oleh
pihak sekolah, pelajaran Aqidah/akhlak dikurangi jamnya, tapi pelajaran
yang tidak punya peran besar terhadap perkembangan mentalitas dan
akademik siswa justru mendapat porsi yang besar dalam kurikulum sekolah.
Kondisi ini diperparah lagi dengan tidak adanya upaya untuk mengcaunter
kurangnya jam pelajaran akhlak/moral pada kegiatan intrakurikuler dengan
cara memberlakukan kegiatan ekstrakurikuler yang bernuansa agamis,
religius dan mengarah pada kebaikan moral. Kelemahan ini ternyata tidak
diperhatikan oleh pihak sekolah, kalaupun ada yang punya perhatian, tapi
tidak mengarah pada aplikasi di lapangan.
Kondisi
pelajar Aceh seperti sekarang ini juga tidak lepas dari tanggung jawab
keluarga. Keluarga yang merupakan pihak paling bertanggung jawab
terhadap pembinaan moral generasi muda kebanyakan mengabaikan masalah
ini, keluarga pada umumnya tidak pernah membudayakan budaya check and
recheck terhadap perkembangan mental spiritual anggotanya sehingga
membuat keluarga tersebut hancur dan tidak terarah.
Justru yang menjadi perhatian dari sebuah keluarga adalah dalam
hal fisik dan materi, sebuah keluarga akan merasa cukup bila
anggota-anggotanya punya fasilitas yang memadai. Hampir tidak ada
keluarga yang menempatkan moral sebagai syarat keberhasilan, keluarga
yang merasa cukup atau berhasil bila anggotanya punya kualitas moral
yang bagus sangat sedikit.
Dan
Pihak terakhir yang tentunya sebagai pihak yang bersalah dan menanggung
sendiri resiko dari kesalahan itu adalah pelajar. Pelajar sebagai sosok
yang sedang menjadi topik kali ini merupakan pihak terakhir yang paling
bertanggung jawab terhadap moral mereka. Mereka yang seharusnya menjadi
tumpuan dan harapan dari masyarakat untuk menciptakan suasana masyarakat
yang damai, aman dan sejahtera justru tidak mendapatkan pembinaan yang
seimbang. Sehingga terlalu sulit bagi pelajar untuk mewujudkan harapan
dan beban yang dipikulkan di pundak mereka. Kesalahan pelajar dalam
memilih pola pembinaan dan lingkuangan pergaulan yang baik membuat
kekurangan dari pihak masyarakat tidak bisa tertutupi. Sehingga lahirlah
generasi pelajar yang tidak mampu melahirkan sebuah kemajuan dan
peradaban yang tangguh, pelajar yang hanya mampu menikmati atau malah
memporakporandakan sebuah hidangan yang sudah dihidangkan, tanpa mampu
membuat sendiri hidangan tersebut.
Itulah
sebuah kondisi yang memprihatinkan yang diakibatkan dari tidak
bertanggung jawabnya pihak-pihak yang berkepentingan dengan pelajar
selama ini. Tidak semuanya seperti itu, namun orang-orang yang punya
kepeduliaan hanya segelintir. Itupun mereka tidak punya wewenang yang
signifikan untuk mengadakan suatiu perubahan pada tubuh pelajar. Dan
pihak-pihak yang peduli ini tidak mendapat dukungan baik moril apalagi
materiil guna mewujudkan kepeduliaan mereka dengan aksi nyata.
Untuk
itu yang harus dipikirkan sekarang adalah bagaimana agar Aceh tidak akan
mengalami Lost Generation yang bisa membuat Aceh kehilangan jati diri
dan titel “Serambi Mekkah”-nya. Jangan ada lagi pihak yag saling
menuding dan saling melemparkan tanggung jawab, jangan ada lagi pihak
“yang cuek” pada
pelajar. Pemerintah harus segera mengupayakan penerapan aturan legal
formal yang memungkinkan pelajar Aceh menjadi bagus. Pemberlakukan
Syariat Islam secara menyeluruh harus dimulai dalam kehidupan pelajar,
menciptakan kurikulum pendidikan yang menitikberatkan pada perbaikan
akhlak, membuat aturan yang akan membabat habis peredaran narkoba
dikalangan pelajar dan masyarakat Aceh, dan aturan-aturan lainnya yang
bisa menjadi indikator keberhasilan pelajar Aceh mendatang. Pihak
kepolisisan harus lebih gencar dalam memberantas ladang ganja dan
peredaran narkoba serta VCD porno di Aceh. Kalau perlu ada sanksi yang
tegas bagi mereka yang masih gentanyangan dengan kemaksiatannya mulai
dari pengedar, pelaku hingga pemberi izin.
Ulama
harus lebih giat mencegah kerusakan moral dikalangan pelajar, jangan
lagi hanya melalui mimbar, tapi harus mengarah pada wujud nyata
dilapangan. Masyarakat harus mencegah budaya-budaya merusak yang masuk
ke Aceh, masyarakat harus menerapkan Islam sebagai satu-satunya budaya
yang mampu melahirkan generasi idaman yang akan membangkitkan Aceh dari
kuburnya. Sekolah harus lebih memperhatikan kualitas moral pelajar,
jangan lagi bersaing dalam hal akademik dan jumlah siswa tanpa
memperhatikan kondisi moral pelajar. Sekolah harus mampu menjadi wadah
bagi pembentukan pelajar yang bagus moralnya, baik prestasi akademiknya
dan aktif membangun masyarakat.
Pembinaan
ekstra juga harus digerakkan oleh keluarga, harus diciptakan suasana
saling perhatian antar anggota, sehingga tidak ada anggota keluarga yang
merasa kurang perhatian sehingga akan mengalihkan perhatian pada bentuk
penggunaan narkoba. Keluarga harus memperhatikan nilai-nilai religi
dalam pembinaan anggotanya. Kehidupan Islam harus dimulai dalam keluarga
masyarakat Aceh, karena kehidupan seperti itulah yang mampu menjamin
tidak akan terjadi ketimpangan pada kondisi moral anggota-anggotanya.
Dan terakhir, pelajar Aceh harus mulai meninggalkan lingkungan pergaulan
yang merusak. Pelajar Aceh harus menciptakan suasana pergaulan yang
menunjang pada peningkatan kualitas moral, perbaikan prestasi akademik
dan peningkatan peran aktif pelajar dalam masyarakat.
Jika
itu semua sudah dilakukan dan dikemas dalam bentuk kerjasama yang
simultan dan sinergi. Mulai pemerintah hingga pelajar harus terjalin
komunikasi yang lancar, harus diupayakan adanya sikap saling dukung
mendukung serta take and give dalam upaya pembinaan yang
berkesinambungan antar semua komponen. InsyaAllah semua itu akan
teratasi atau minimal akan terminiminalisir oleh wujud kerjasama yang
rapi ini. Sehingga generasi yang dikhawatirkan akan menjadi penonton
atau perusak dari sebuah peradaban akan menjadi generasi yang penuh
idealisme dan mampu menghasilkan sebuah peradaban tangguh dimasa
mendatang.
|