Tampilan terbaik:
 

Info Kegiatan 2000 

       

Latar Belakang Penelitian

 

 

Tercatat dalam lembar sejarah bahwa keberadaan Indonesia sekarang ini tidak lepas dari eksistensinya Aceh ketika penjajah berusaha menguasai seluruh Indonesia. Aceh juga salah satu unsur pembentuk peradaban di Indonesia, karena peradaban Islam masuk ke Indonesia melalui Aceh terlebih dahulu. Dengan Islam, Aceh menjadi pemasok utama bagi perkembangan mental spiritual masyarakat Indonesia yang dengan bekal mental spiritual yang mantap itu maka Indonesia menjadi salah satu negara besar yang disegani oleh negara-negara yang lain.

 

 

Peran Aceh yang besar ini membuat pemerintah Indonesia menetapkan Aceh sebagai daerah yang Istimewa, istimewa di bidang agama, adat-istiadat dan pendidikan, walaupun sebenarnya keistimewaan yang diperoleh Aceh tidak sebanding dengan kontribusi Aceh yang terlalu besar untuk sebuah titel istimewa. Namun titel istimewa tersebut sebenarnya cukup untuk membuka peluang bagi pembentukan masyarakat Aceh menjadi masyarakat yang maju, jasmani dan rohani yang berkualitas, disiplin, handal dan berwibawa. Dengan kata-kata istimewa sebenarnya cukup untuk memulai langkah baru menuju terbentuknya daerah Aceh menjadi daerah yang tangguh. Namun ternyata itu semua terkesan sebagai simbol yang hanya indah diucap dengan mulut. Kata-kata istimewa terkesan sebagai pemanis ucapan kata-kata Aceh. Keistimewaan Aceh yang diberikan oleh pemerintah tidak menjamin pengaplikasian keistimewaan itu secara nyata dalam kehidupan masyarakat Aceh. Sehingga yang lahir dan tergambar  sekarang adalah masyarakat Aceh bukan masyarakat yang istimewa.

 

 

Keistimewaan yang diberikan kepada Aceh juga mendapat hambatan internal dari masyarakat Aceh itu sendiri. Tidak adanya suatu ikatan konstitusional dan aturan legal formal  yang mengikat membuat masyarakat Aceh memandang sebelah mata keistimewaannya. Masyarakat Aceh tidak dituntut untuk mengaplikasikan keistimewaan itu dalam kehidupan mereka, mereka hanya terobsesi untuk mengucapkan istimewa itu setiap kali mereka mengucapan kata-kata Aceh. Masyarakat Aceh justru terjebak pada hasil asimilasi budaya lokal dengan budaya luar yang tidak menampilkan ciri istimewa. Masyarakat Aceh yang dulunya terkenal dengan karakter budayanya yang khas kini menjadi masyarakat Aceh yang  labil, tidak memiliki identitas diri yang tepat. Masyarakat Aceh menjadi masyarakat yang mengikuti alur budaya luar yang diadopsi, dan seakan-akan tidak melalui suatu proses sensor/ penyaringan. Banyak sekali yang masuk ke Aceh adalah budaya luar yang merusak, budaya yang tidak sesuai dengan fitrah manusia. Akibatnya bisa diduga, terciptalah sebuah generasi masyarakat Aceh yang lemah, tidak punya prinsip, kehilangan jati diri dan lepas dari nilai-nilai religius.

 

 

Yang menyedihkan adalah hal ini turut menimpa generasi yang diharapkan bisa menjadi pengisi pembangunan Aceh dimasa depan. Generasi pelajar menjadi korban kebiadaban sebuah budaya kotor yang menjadi mesin perusak mental mereka. Pelajar Aceh menjadi korban kesalahan sebuah konsep atau sistem. Mereka korban dari ketidakberdayaan generasi-generasi diatas mereka yang tidak mampu menangkal penetrasi budaya luar yang merusak itu. Pelajar Aceh kini menjadi generasi yang lemah, yang jangankan membangun Aceh kedepan, untuk menjadi sekedar pengikutpun mereka seakan-akan tidak berdaya.  

 

 

Dampak dari infiltrasi budaya yang masuk tadi terlihat dari terjadinya degradasi moral dikalangan pelajar Aceh. Degradasi moral ini bukan sepenuhnya kesalahan meraka, melainkan juga kesalahan dari generasi diatas mereka. Bentuk degradasi moral yang diperlihatkan oleh pelajar Aceh tidak jauh dengan bentuk degradasi moral pelajar-pelajar diluar Aceh. Kita bisa dengan mudah melihat pelajar yang suka bolos, pelajar yang suka tawuran, siswi yang berprofesi ganda (pagi belajar malam jadi wanita liar), maraknya pergaulan bebas antara siswa-siswi, maraknya VCD porno yang dikonsumsi oleh pelajar, dan yang lebih parah lagi adalah makin luasnya peredaran Narkoba dikalangan pelajar Aceh.  

 

 

Jika ini tidak menjadi prioritas bagi pihak-pihak yang terkait, maka bisa dipastikan Aceh masa depan adalah Aceh yang suram, karena para pengisi aktifitas di tanah Aceh ini adalah generasi yang lemah. Ini menjadi permasalahan besar dan serius bagi semua pihak, mulai pemerintah, ulama, sekolah, keluarga hingga komponen pelajar itu sendiri. Karena itu, kerjasama yang rapi dan simultan harus segera diupayakan dari semua pihak yang punya kepentingan dengan kehidupan pelajar untuk mencari penyelesaiannya.. 

 

 

Berawal dari ketidakpastian dan arahan yang jelas akan kelanjutan sebuah kehidupan pelajar Aceh inilah (berupa dekadensi moral dan penurunan prestasi), maka Kesatuan Aksi Pelajar Muslim (KAPMI) Daerah Istimewa Aceh memulai langkah untuk mencoba urun saran dan kerja untuk menyikapi kondisi pelajar yang saat ini masih berkutat dengan berbagai bentuk kerusakan moral dengan cara melakukan penelitian terhadap kondisi pelajar di Daerah Istimewa Aceh. Penelitian ini diharapkan bisa menjadi sumber informasi tentang kondisi riil pelajar Aceh guna bisa segera diantisipasi oleh semua pihak. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian terhadap penggunaan Narkoba dikalangan pelajar.

 

 

Mengapa hanya Narkoba ? Ini didasari dengan pertimbangan bahwa akar dari permasalahan moral pelajar diawali pada mental dan rohani, jika mental dan rohani pelajar rusak, maka akan lahir pelajar yang rusak pula, sebaliknya jika mental dan rohani pelajar bagus maka akan lahir pelajar yang berkualitas (baik moral maupun prestasi). Dan narkoba merupakan penyebab rusaknya mental dan rohani seseorang sehingga akan menimbulkan kerusakan moral yang lainnya secara keseluruhan. Sehingga bisa dikatakan bahwa narkoba merupakan awal kerusakan moral pelajar Aceh. Diharapkan dengan informasi yang didapatkan melalui penelitian akan menghasilkan solusi praktis, efektif dan efisien bagi upaya penanggulangan kondisi moral pelajar Aceh.

 

 

webmaster

 Update terakhir tanggal : 20 Februari 2001

 (C) Copyright KAPMI 2001, by Sona Sagita