Latar
Belakang Penelitian
Tercatat
dalam lembar sejarah bahwa keberadaan Indonesia sekarang ini tidak lepas
dari eksistensinya Aceh ketika penjajah berusaha menguasai seluruh
Indonesia. Aceh juga salah satu unsur pembentuk peradaban di Indonesia,
karena peradaban Islam masuk ke Indonesia melalui Aceh terlebih dahulu.
Dengan Islam, Aceh menjadi pemasok utama bagi perkembangan mental
spiritual masyarakat Indonesia yang dengan bekal mental spiritual yang
mantap itu maka Indonesia menjadi salah satu negara besar yang disegani
oleh negara-negara yang lain.
Peran Aceh yang
besar ini membuat pemerintah Indonesia menetapkan Aceh sebagai daerah
yang Istimewa, istimewa di bidang agama, adat-istiadat dan pendidikan,
walaupun sebenarnya keistimewaan yang diperoleh Aceh tidak sebanding
dengan kontribusi Aceh yang terlalu besar untuk sebuah titel istimewa.
Namun titel istimewa tersebut sebenarnya cukup untuk membuka peluang
bagi pembentukan masyarakat Aceh menjadi masyarakat yang maju, jasmani
dan rohani yang berkualitas, disiplin, handal dan berwibawa. Dengan
kata-kata istimewa sebenarnya cukup untuk memulai langkah baru menuju
terbentuknya daerah Aceh menjadi daerah yang tangguh. Namun ternyata itu
semua terkesan sebagai simbol yang hanya indah diucap dengan mulut.
Kata-kata istimewa terkesan sebagai pemanis ucapan kata-kata Aceh.
Keistimewaan Aceh yang diberikan oleh pemerintah tidak menjamin
pengaplikasian keistimewaan itu secara nyata dalam kehidupan masyarakat
Aceh. Sehingga yang lahir dan tergambar sekarang
adalah masyarakat Aceh bukan masyarakat yang istimewa.
Keistimewaan yang
diberikan kepada Aceh juga mendapat hambatan internal dari masyarakat
Aceh itu sendiri. Tidak adanya suatu ikatan konstitusional dan aturan
legal formal yang mengikat
membuat masyarakat Aceh memandang sebelah mata keistimewaannya.
Masyarakat Aceh tidak dituntut untuk mengaplikasikan keistimewaan itu
dalam kehidupan mereka, mereka hanya terobsesi untuk mengucapkan
istimewa itu setiap kali mereka mengucapan kata-kata Aceh. Masyarakat
Aceh justru terjebak pada hasil asimilasi budaya lokal dengan budaya
luar yang tidak menampilkan ciri istimewa. Masyarakat Aceh yang dulunya
terkenal dengan karakter budayanya yang khas kini menjadi masyarakat
Aceh yang labil, tidak
memiliki identitas diri yang tepat. Masyarakat Aceh menjadi masyarakat
yang mengikuti alur budaya luar yang diadopsi, dan seakan-akan tidak
melalui suatu proses sensor/ penyaringan. Banyak sekali yang masuk ke
Aceh adalah budaya luar yang merusak, budaya yang tidak sesuai dengan
fitrah manusia. Akibatnya bisa diduga, terciptalah sebuah generasi
masyarakat Aceh yang lemah, tidak punya prinsip, kehilangan jati diri
dan lepas dari nilai-nilai religius.
Yang menyedihkan
adalah hal ini turut menimpa generasi yang diharapkan bisa menjadi
pengisi pembangunan Aceh dimasa depan. Generasi pelajar menjadi korban
kebiadaban sebuah budaya kotor yang menjadi mesin perusak mental mereka.
Pelajar Aceh menjadi korban kesalahan sebuah konsep atau sistem. Mereka
korban dari ketidakberdayaan generasi-generasi diatas mereka yang tidak
mampu menangkal penetrasi budaya luar yang merusak itu. Pelajar Aceh
kini menjadi generasi yang lemah, yang jangankan membangun Aceh kedepan,
untuk menjadi sekedar pengikutpun mereka seakan-akan tidak berdaya.
Dampak
dari infiltrasi budaya yang masuk tadi terlihat dari terjadinya
degradasi moral dikalangan pelajar Aceh. Degradasi moral ini bukan
sepenuhnya kesalahan meraka, melainkan juga kesalahan dari generasi
diatas mereka. Bentuk degradasi moral yang diperlihatkan oleh pelajar
Aceh tidak jauh dengan bentuk degradasi moral pelajar-pelajar diluar
Aceh. Kita bisa dengan mudah melihat pelajar yang suka bolos, pelajar
yang suka tawuran, siswi yang berprofesi ganda (pagi belajar malam jadi
wanita liar), maraknya pergaulan bebas antara siswa-siswi, maraknya VCD
porno yang dikonsumsi oleh pelajar, dan yang lebih parah lagi adalah
makin luasnya peredaran Narkoba dikalangan pelajar Aceh.
Jika
ini tidak menjadi prioritas bagi pihak-pihak yang terkait, maka bisa
dipastikan Aceh masa depan adalah Aceh yang suram, karena para pengisi
aktifitas di tanah Aceh ini adalah generasi yang lemah. Ini menjadi
permasalahan besar dan serius bagi semua pihak, mulai pemerintah, ulama,
sekolah, keluarga hingga komponen pelajar itu sendiri. Karena itu,
kerjasama yang rapi dan simultan harus segera diupayakan dari semua
pihak yang punya kepentingan dengan kehidupan pelajar untuk mencari
penyelesaiannya..
Berawal
dari ketidakpastian dan arahan yang jelas akan kelanjutan sebuah
kehidupan pelajar Aceh inilah (berupa dekadensi moral dan penurunan
prestasi), maka Kesatuan Aksi Pelajar Muslim (KAPMI) Daerah Istimewa
Aceh memulai langkah untuk mencoba urun saran dan kerja untuk menyikapi
kondisi pelajar yang saat ini masih berkutat dengan berbagai bentuk
kerusakan moral dengan cara melakukan penelitian terhadap kondisi
pelajar di Daerah Istimewa Aceh. Penelitian ini diharapkan bisa menjadi
sumber informasi tentang kondisi riil pelajar Aceh guna bisa segera
diantisipasi oleh semua pihak. Penelitian yang dilakukan adalah
penelitian terhadap penggunaan Narkoba dikalangan pelajar.
Mengapa hanya
Narkoba ? Ini didasari dengan pertimbangan bahwa akar dari permasalahan
moral pelajar diawali pada mental dan rohani, jika mental dan rohani
pelajar rusak, maka akan lahir pelajar yang rusak pula, sebaliknya jika
mental dan rohani pelajar bagus maka akan lahir pelajar yang berkualitas
(baik moral maupun prestasi). Dan narkoba merupakan penyebab rusaknya
mental dan rohani seseorang sehingga akan menimbulkan kerusakan moral
yang lainnya secara keseluruhan. Sehingga bisa dikatakan bahwa narkoba
merupakan awal kerusakan moral pelajar Aceh. Diharapkan dengan informasi
yang didapatkan melalui penelitian akan menghasilkan solusi praktis,
efektif dan efisien bagi upaya penanggulangan kondisi moral pelajar
Aceh.
|